PENGERTIAN ITTIHAD
Dilihat dari sudut etimologi, ittihad (Al-Ittihad) berarti persatuan, dalam kamus sufisme bearti persatuan antara manusia dengan tuhan. Menurut istilah Al-Ittihad adalah penyatuan batin dan rohaniah dengan Tuhan. Karena tujuan fana’ dan baqa’ itu sendiri adalah Ittihad. Hal ini sejalan dengan pendapat Mustafa Zahri yang mengatakan bahwa fana’ dan baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan paham ittihad. Dalam ajaran ittihad sebagai salah satu metode tasawuf sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Badawi yang dilihat hanya satu wujud yang berpisah dari yang lain karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud. Maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (Tuhan).[1]
Faham ittihād dalam istilah Abu Yazid disebut tajrīd fana’ fī al-tauhīd yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa dibatasi oleh sesuatu apapun.[2] Sedangkan ittihād dalam ajaran tasawuf adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapai dalam perjalanan jiwa manusia. Orang yang telah sampai ketingkat ini maka dia akan menjadi satu degan Tuhannya, terbukalah dinding baginya, dia dapat melihat sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, mendengar sesuatu yang tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas di hati. Pada saat itu sering keluar ucapan-ucapan yang ganjil dan aneh yang disebut tasawuf dengan syatahat.[3]
Faham ittihad ini juga dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa berkata: “Ya Tuhan, bagaimana supaya aku sampai kepadaMu ?”. Tuhan berfirman: Tinggalkan dirimu (lenyapkan dirimu) baru kamu kemari (bersatu). Ayat dan riwayat diatas memberi petunjuk bahwa Allah SWT telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniah atau batiniah yang caranya antara lain dengan beramal shaleh dan beribadah semata-mata karena Allah.[4]
PROSES ITTIHAD
Ittihād itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat menghilangkan kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam sekitarnya. Namun lebih dari itu sebenarnya. Menurut Nicolson, dalam faham ittihād hilangnya kesadaran adalah permulaan untuk memasuki tingkat ittihād yang sebenarnya dicapai dengan adanya kesadaran terhadap dirinya sebagai Tuhan. Keadaan inilah yang disebut dengan kesinambungan hidup setelah kehancuran dan hilangnya kesadaran (fana’) yang merupakan awal untuk memasuki pintu ittihād itu adalah pemberian Tuhan kepada seorang sufi.[5]
Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Abu Yazid Al-Bustani yang dipandang sebagai pencetus fana’, baqa’ dan ittihad. Fana ‘ dan baqa’ merupakan kembar dua dalam pencapaian ittihad. Dengan kata lain, ittihad itu baru tercapai setelah melewati fana dan baqa’. Sekarang kalau memang fana yang merupakan persyaratan untuk mencapai ittihād itu adalah pemberian Tuhan, maka pemberian itu akan datang sendirinya setelah seorang sufi dengan kesungguhan dan kesabarannya dalam ibadah dalam usaha memberikan jiwa sebagaimana dikemukakan di atas. Fana’ yang dimaksudkan disini ialah hilangnya kesadaran akan wujud dirinya (al fana ‘an nafs) dan wujud alam sekelilingnya (al-fana ‘an al-Khaluq) sehingga ia (sufi) tidak tahu bahwa dirinya dalam keadan fana’ (al-fana ‘an Allah) kerena seluruh aktivitas dan kesadarannya terkonsentrasi pada Allah, maka ia larut dalam kesadaran Allah (al-fana fi Allah) dan akhirnya pada saat itu yang ada dalam perasaannya hanyalah Allah (al-baqa bi Allah).[6]
Proses terjadinya ittihad atau menyatu dengan wujud Allah pada awal mulanya lenyap kesadaran akan diri dan sifat-sifat peribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah; lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah memulai menyaksikan keindahan wajah Allah; lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah; lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah mulai menyaksikan keindahan wajah Allah; kemudian akhirnya lenyap kesadaran akan kefanaannya itu sendiri lantaran telah merasa lebur menyatu dalam wujud Allah.[7]
Kutipan di atas memperhatikan bahwa sebelum terjadinya itihad seorang sufi harus melalui tiga tahapan. Pertama, lenyapnya kesadaran akan alam sekelilingnya lantaran seluruh kesadarannya telah beralih dan terpusat ke alam batin. Itulah baqa’ dalam penghayatan gaib yang dalam tasawuf dinamakan kasyf. Pada tingkat kedua mulai menyaksikan langsung apa yang mereka yakini sebagai zat al-Haqq (Tuhan). Itulah penghayatan ma’rifatullah. Yang mereka hayati dalam alam kejiwaan sewaktu fana’. Pada tingkat ketiga atau pada puncak penghayatan ma’rifah adalah fana’ al- fana’, yakni lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya lantaran telah terhisap dan luluh dalam kesatuan dengan Tuhannya.
Salah satu dalil tentang adanya fana’ ini yang sering disitir dalam kitab-kitab tasawuf adalah firman Allah dalam surah Yusuf ayat 31 sebagai berikut:
$¬Hs>sù ôMyèÏJy £`ÏdÌõ3yJÎ/ ôMn=yör& £`Íkös9Î) ôNytGôãr&ur £`çlm; $\«s3GãB ôMs?#uäur ¨@ä. ;oyÏnºur £`åk÷]ÏiB $YZÅj3Å ÏMs9$s%ur ólã÷z$# £`Íkön=tã ( $¬Hs>sù ÿ¼çmuZ÷r&u ¼çmtR÷y9ø.r& z`÷è©Üs%ur £`åkuÏ÷r& z`ù=è%ur |·»ym ¬! $tB #x»yd #·|³o0 ÷bÎ) !#x»yd wÎ) Ô7n=tB ÒOÌx. ÇÌÊÈ
Artinya:
Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf): "Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka." Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: "Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia. (Q.S. Yusuf : 31)
Dalam mengomentari ayat di atas Imam al-Qusyairi berkata: Ini baru ketuhanan seorang makhluk tatkala menyaksikan keindahan makhluk lain.sudah fana’. Bayangkan bagaimana seorang sufi yang menghayati terbukanya tabir lalu menyaksikan keindahan wajah Ilahi. Jadi tidak mengherankan bila dia fana’, tidak sadar akan dirinya dan akan makhlik sejenisnya.[8] Hanya dengan melihat wajah Nabi Yusuf yang ganteng mereka telah terpesona hingga tak sadar, memotong jari mereka dan tidak merasa sakitnya. Apalagi bagi sang sufi yang terpesona melihat keelokan wajah Tuhannya yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Dalam keadaan demikian ia merasa dirinya telah bersatu dengan Allah (ittihad). Ittihad sebagai pengalaman sufistik haruslah dikaji dalam konteks kejiwaan dan memiliki beberapa ciri-ciri yang harus diperhatikan oleh pengkajian tasawuf. William James mengemukakan beberapa ciri-ciri pengalaman sufistik antara lain:
1. Tidak bisa diungkapkan. Orang yang mengalaminya mengatakan bahwa pengalaman itu tidak bisa diungkapkan; tidak ada uraian manapun yang memadai untuk bisa mengisahkannya dalam kata- kata. Ini berarti bahwa kualitas semacam ini harus dialami secara langsung dan tidak bisa diberikan atau dipindahkan kepada orang lain.
2. Kualitas neotik. Meskipun sangat mirip dengan situasi perasaan, bagi orang yang mengalami situasi mistis ini juga adalah situasi berpengetahuan. Dalam situasi ini, orang mendapatkan wawasan tentang kedalaman kebenaran yang tidak bisa digali melalui intelek yang bersifat diskursif. Semua ini merupakan peristiwa pencerahan dan pewahyuan yang penuh dengan makna dan arti yang hanya bisa dirasakan.
3. Situasi transien. Keadaan mistik tidak bisa dipertahankan dalam waktu yang cukup lama. Kecuali pada kesempatan-kesempatan yang jarang terjadi; batas-batas yang bisa dialami seseorang sebelum kemudian pulih kekeadaan biasa adalah sekitar setengah jam, atau paling lama satu atau dua jam.
4. Datangnya situasi mistik bisa dikondisikan oleh beberapa tindakan pendahuluan yang dilakukan secara sengaja, seperti melakukan pemusatan pikiran, gerakan tubuh tertentu, atau menggunakan cara-cara yang diuraikan dalam pelbagai buku panduan mistisime. Meskipun demikian, saat kesadaran khas yang ada pada situasi ini muncul, sang mistikus merasa bahwa untuk sementara hasratnya menghilang dan ia merasa direngkuh dan
dikuasai oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi.[9]
dikuasai oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi.[9]
Pengalaman mistik tertinggi memang mengahasilkan situasi kejiwaan yang disebut ekstase. Dalam khazanah kaum sufi, ekstase itu sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayang oleh minuman kebenaran (al-Haqq) yang memabukkan. Bahkan untuk mereka minuman yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yang mereka namakan dlamir al-sya’n, yaitu kata “an” yang berarti “bahwa” dalam kalimat syahadath pertama asyhadu al lailaha illa Allah (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah). Pelukisan ini untuk menunjukkan betapa intensenya mereka menghayati tauhid, sehingga mereka menyadari apapun yang lain selain Dia yang Maha Ada.
Dalam situasi ittihad seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu dengan kata-kata :”hai aku”. Dengan demikian jika sang sufi mengatakan Maha Suci aku, maka yang dimaksud aku disitu bukan sufi sendiri, tetapi sufi yang telah bersatu batin dan rohaninya dengan Tuhan melalui Fana’ dan Baqa’.
CONTOH ITTIHAD PARA SUFI
Ungkapan Abu Yazid tentang peristiwa mi’rajnya berikut ini merupakan contoh sedang terjadinya ittihad. Dia mengatakan : Pada suatu ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan dan Ia berkata : Abu Yazid makhluk-Ku ingin melihat engkau, Aku Menjawab : Kekasih-Ku, aku tidak ingin melihat mereka. Tetapi jika itulah kehendak-Mu, maka aku tidak berdaya untuk menentang kehendak-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat daku, mereka akan berkata : Telah kami lihat Engkau. Tetapi yang merasa lihat akan aku tidak ada di sana. Dalam bagian awal ungkapan itu melukiskan alam ma’rifah dan selanjutnya memasuki alam fana’ ‘an nafs sehingga ia berada sangat dekat dengan Tuhan dan akhirnya terjadi perpaduan. Situasi ittihād ini lebih jelas lagi dalam ungkapannya. Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Ataupun berkata: Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau. Selanjutnya Abu Yazid berkata : ﻻﺇ ﻪﻟﺍ ﻻ ﷲﺍ ﺎﻧﺃ ﱏﺇ ﱏﺪﺒﻋﺎﻓ ﺎﻧﺃ Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.[10]
Secara lahiriyah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid di atas itu seakan-akan ia mengaku dirinya Tuhan. Akan tetapi bukan demikian maksudnya. Di sini Abu Yazid mengucapkan kata “Aku” bukan sebagai gambaran dari diri Abu Yazid sendiri, tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena Abu Yazid telah bersatu dengan diri Tuhan. Dengan kata lain Abu Yazid dalam ittihād berbicara dengan nama Tuhan. Atau lebih tepat lagi Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yazid. Dalam hal ini Abu Yazid menjelaskan : ﺖﻴﻨﻓ ﺪﻘﻓ ﺎﻧﺃ ﺎﻣﺃ ﱏﺎﺴﻨﺑ ﻢﻠﻜﺘﻳ ﻯﺬﻟﺍ ﻮﻫ ﻪﻧﻷ Sebenarnya Dia berbicara melalui lidahku sedang aku sendiri dalam keadaan fana.[11] Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Kata-kata serupa di atas bukan diucapkan oleh Abu Yazid sebagai kata-katanya sendiri, tetapi kata-kata itu diucapkan dalam keadaan ittihād.
KOMUNITAS ISLAM TENTANG ITTIHAD
Ada pendapat yang mengatakan bahwa faham fana’ dalam tasawuf Islam ini berasal dari ajaran Buddhaisme tentang faham nirwana, karena faham nirwana dalam ajaran Buddhaisme ini hampir serupa dengan faham fana’ dalam tasawuf. Untuk mencapai nirwana orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Dikatakan, ajaran-ajaran non Islam seperti ajaran Buddhaisme ini, masuk ke dalam ajaran Islam seperti dalam tasawuf adalah akibat logis dari perluasan daerah kekuasaan Islam, pertemuan berbagai suku bangsa, kebudayaan, agama dan kepercayaan di dalam satu wadah pergaulan pemerintahan Islam pasti akan saling mempengaruhi antara yang satu dengan lainnya.
Dalam persoalan ini Nicholson mengatakan bahwa konsepsi sufi tentang kefanaan diri adalah dapat dipastikan berasal dari India. Penganjurannya seorang ahli mistik Persi, Bayazid dari Bistam mungkin telah menerima dari gurunya.[12] Abu Ali dari Sind (India). Tambahan lagi bahwa dalam sejarah, selama ribuan tahun sebelum kemenangan umat Islam Buddhisme pernah memiliki akar yang kuat di kawasan timur Persia dan Bactria, sehingga oleh karenanya hampir dapat dipastikan adanya pengaruh terhadap perkembangan ajaran tasawuf di daerah tersebut.[13]
Demikian pendapat yang mengatakan bahwa faham fana’, baqa’ dan ittihād ini berasal dari luar Islam (Buddhisme). Namun keterangan-keterangan yang ada belum memberikan kepastian dalam keputusan kepada kita, karena analisis yang diberikan hanya berupa pemikiran-pemikiran belaka. Saya kira, terlepas dari maksud untuk menerima atau menolaknya, faham ini dapat saja lahir dari ajaran Islam sendiri, baik dari al-Qur’an ataupun Hadis. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Rahman ayat 26-27 :
@ä. ô`tB $pkön=tæ 5b$sù ÇËÏÈ 4s+ö7tur çmô_ur y7În/u rè È@»n=pgø:$# ÏQ#tø.M}$#ur ÇËÐÈ
Artinya:
"Semua yang ada di bumi ini akan binasa (26). Dan tetap kekal Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (27)". (Q.S. Ar-Rahman : 26-27)
Dan sabda Rasulullah saw, yang artinya:
Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku merekapun kenal pada-Ku.[14]
Memang seperti dikatakan oleh mereka yang menolak faham yang dibawa oleh Abu Yazid ini, bahwa ayat atau hadis digunakan sering diselewengkan maksudnya. Tetapi kita mungkin bisa bertanya setelah kita melihat penjelasan kaum sufi, apakah mereka yang menolak faham ini tidak memaksakan pendapatnya dalam melihat dan menafsirkan ayat atau hadis yang digunakan kaum sufi, karena ayat atau hadis tersebut dapat mengandung lebih dari satu arti. Kita mengenal biasanya orang sufi mengambil arti batin, arti yang tersirat; sementara orang lain mengambil arti lahir, arti yang tersurat. Mereka menilai tasawuf dengan norma-norma atau nilai-nilai yang berlaku di kalangan mereka, sehingga berkesimpulan bahwa ajaran tasawuf tersebut bertentangan dengan Islam atau tidak bersumber dari ajaran Islam. Alasan lain dari mereka yang menolak adanya faham ittihād adalah tidak mungkin terjadi persatuan antara dua subtansi (zat), antara manusia dengan Tuhan.
Dengan tegas Muhammad al-Sadiq Arjun mengatakan : Demikian juga ittihād, nampak sekali salahnya, karena perkataan seseorang bahwa seorang hamba dapat menjadi Tuhan adalah perkataan yang paradoks dalam wujudnya, Padahal seyogyanya dia mensucikan diri dari segala perkataan yang mustahil-mustahil ini. Kita dapat berkata dengan tegas (mutlak) bahwa perkataan seseorang, sesuatu dapat menjadi sesuatu yang lain adalah mutlak mustahilnya.[15]
Jika kita kembali kepeda pengertian ittihād seperti yang terurai di atas, bukanlah yang dimaksud dengan ittihād itu berpadunya dua subtansi menjadi satu, tetapi merupakan satu keadaan rohani yang diperoleh melalui al-fana’ ‘an al-nafs, yakni hilangnya kesadaran seorang sufi akan wujud dirinya dan yang tinggal dalam kesadarannya hanya wujud Tuhan. Hal ini dalam ungkapan sufi sebagaimana dikutipkan di atas, tidak ubahnya seperti hilangnya maksiat dan sifat-sifat buruk. Dengan hancurnya hal-hal ini, maka yang tinggal ialah taqwa dan kelakuan baik. Dengan melihat uraian di atas, penolakan terhadap adanya faham ittihād dalam tasawuf belum memberikan alasan yang meyakinkan. Saya kira ada dua hal yang mempengaruhi sebagian para pengamat ajaran tasawuf, khususnya faham ittihād selama ini :
1. Mereka melihat dan menilai tasawuf dengan kacamata yang cocok
untuk dirinya, maksudnya menilai tasawuf menurut norma-norma
yang mereka yakini.
untuk dirinya, maksudnya menilai tasawuf menurut norma-norma
yang mereka yakini.
2. Mereka menggunakan batasan ittihād menurut persepsinya.
RASIONALISASI ITTIHAD MENURUT PENGANUTNYA
Irfan Abdul Hamid Fattah Mengatakan bahwa dalam sejarah perkembnagan tasawuf, Abu Yazid al-Bustami dipandang sebagai pembawa arah timbulnya aliran “kesatuan wujud” atau ittihad.[16] Perkembangan ajaran tasawauf ke arah ini digambarkan oleh Prof. Dr. H. Aboebakar Atheh sebagai berikut: Lalu sampailah pada abad yang ke-III orang membicarakan latihan rohani, yang dapat membawa manusia kepada Tuhannya. Jika pada akhir abad ke-II ajaran sufi merupakan kezuhudan (asceticisme), dalam abad ke-III ini orang sudah meningkat kepada wusul dan ittihad dengan Tuhan (mistikisme). Orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap tentang kecintaan, fana fil mahbub,bersatu dengan kecintaan, ittihād fil mahbub, bertemu dengan Tuhan, liqa’; dan menjadi satu dengan Dia. ‘ainul jama’ sebagai yang diucapkan oleh Abu Yazid Bisthami.[17]
Abu Yazid pendapat sufi condong kepada kepada konsepsi “kesatuan wujud”. Faham ini muncul sebagai konsepsi lanjut dari pendapat sufi bahwa dunia fenomena ini hanyalah bayangan dari “realita” yang sesungguhnya, yaitu Tuhan. Satu-satunya wujud yang hakiki hanyalah wujud Tuhan, sesuatu yang menjadi
dasar bagi adanya segala sesuatu yang ada. Dunia hanyalah bayangan dan khayal, wujudnya tergantung pada wujud Tuhan. Atas dasar pemikiran tentang Tuhan yang demikian itu, mereka berpendapat, bahwa alam ini termasuk manusia merupakan refleksi dari hakikat Ilahi.
dasar bagi adanya segala sesuatu yang ada. Dunia hanyalah bayangan dan khayal, wujudnya tergantung pada wujud Tuhan. Atas dasar pemikiran tentang Tuhan yang demikian itu, mereka berpendapat, bahwa alam ini termasuk manusia merupakan refleksi dari hakikat Ilahi.
Dalam diri manusia terdapat unsur ketuhanan karena ia merupakan pancaran Nur Ilahi, seperti pancaran cahaya matahari. Oleh karena itu, jiwa manusia selalu bergerak berusaha untuk bersatu kembali dengan sumber asalnya. Menurut Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya seesensi dengan Tuhan dapat bersatu dengan Tuhan dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu melebur eksistensi keberadaannya sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya, fana’ ‘an al-nafs.[18]
Dengan istilah lain, barang siapa yang mampu menghapuskan kesadaran pribadinya dan mampu membebaskan diri dari alam sekelilingnya, ia akan memperoleh jalan kembali kepada sumber asalnya. Ia akan memperoleh jalan kembali kepada sumber asalnya. Ia akan menyatu padu dengan yang Tunggal, yang dilihat dan dirasakannya hanya satu. Keadaan seperti inilah yang disebut ittihād, yang oleh Abu Yazid disebut tajrīd fanā’ fī al-tauhīd. Nampaknya kontroversi sekitar faham fana’, baqa’ dan ittihād dalam tasawuf terus berkembang hingga sekarang. Ibrahim Madkur melihat bahwa faham ittihād ini adalah sesuatu yang paling rumit di dalam tasawuf Islam, sehingga para pengamat tasawuf dalam menilainya bisa dibagi menjadi dua kelompok, ada yang menerimanya tetapi juga ada yang menolaknya. Selanjutnya Madkur dengan tegas mengatakan bahwa faham ittihād ini sebenarnya tidak bersumber dari Islam. Katanya, al-Qur’an dengan ungkapan yang tegas, secara mutlak, tidak memberi tempat pada adanya faham ittihād. Hanya saja, para pendukungnya tidak kehilangan akal untuk melandasinya dengan ayat al-Qur’an dan hadis Nabi.[19]
Penilaian serupa juga dikemukakan oleh Aboebakar Atjeh. Dengan nada yang agak moderat, beliau mengatakan : Sebenarnya tidak ada sesuatu petunjuk pun dalam Qur’an yang dengan tegas-tegas menerangkan ada ittihād itu. Ada beberapa ayat qur’an yang menerangkan keadaan akrabnya Tuhan dengan hamba- Nya, seperti yang disebutkan dalam Ayat berikut: “Kami lebih dekat padanya dari pada kedua urat leharnya” “Ia (Tuhan) selalu bersama kamu, dimanapun kamu berada”. Selanjutnya ada sebuah hadis qudsi yang berbunyi: “Mutaqqarribun itu tidaklah dapat mendekati Aku dengan hanya menunaikan segala ibadah yang perlu, yang sudah diwajibkan kepadanya, tetapi seorang hamba-Ku yang senantiasa mengerjakan segala ibadat-ibadat sunnat, dapatlah mendekati Daku, sehinga ia mencintai Daku dan Aku mencintai dia, maka pendengaran-Ku menjadi pendengarannya dan penglihatan-Ku menjadi matanya untuk melihatnya”.[20]
DAFTAR PUSTAKA
Arjun, Muhammad al-Sadiq, 1967. Al-Tasawwuf Fi Al-Islam Manabi’uhu Wa
At waruhu, Cairo: Maktabah al-Kulliyah al-Athariyah
At waruhu, Cairo: Maktabah al-Kulliyah al-Athariyah
Atjeh, Aboebakar, 1984. Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf. Solo: Ramadhani
Fattah, Irfan Abdul Hamid, 1973. Nasy’atu Al-Falsafah Al-Sufiyah Wa Tatawwuruhu, Bairut, al-Maktab al-Islamy
James, William 2004. The Varietiės of Religion Experience, (diterjemahkan oleh Gunawan Admiranto, Perjumpaan dengan Tuhan) Bandung: Mizan
Madkur, Ibrahim, 1976. Fi al-Falsafah al-Islamiyah Manhaj wa Tatbiquhu. Cet.1, Cairo: Daral-Ma’arif
Mahmud, Abdul Qadir Al-Falsafah al-Sufiyah fi al-Islam, Cairo: Dar al-Fikri al-Araby
Nasution, Harun, 1973. Falsafat & Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Nata, Abuddin, 2003.Akhlak Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Nicholson, 1973. Studies in Islamic Mysticism, London: Cambridge University Press
Qusyairi, Al-Risalah Al-Qusyairiyah, Cairo: Dar Al-Kutub Al-‘Arabiyah
Al-Kubra
Al-Kubra
Rizvi, Saiyid Athar Abbas, 1978. A History of Sufisme in India, New Delhi: Munashiram Manoharlal
Simuh, 1997. Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Team Penyusun Naskah, 1982. Pengantar Ilmu Tasawuf, Medan: Proyek Binperta IAIN Sumatera Utara
[3] Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafah al-Islamiyah Manhaj wa Tatbiquhu. Cet.1, (Cairo: Daral-Ma’arif. 1976) hlm. 2
[5] Nicholson, R. A., Studies in Islamic Mysticism, (London: Cambridge University Press, 1973) hlm. 218
[9] William James, The Varietiės of Religion Experience, (diterjemahkan oleh Gunawan Admiranto, Perjumpaan dengan Tuhan) (Bandung: Mizan, 2004) hlm. 506-508
[10] Harun Nasution, Falsafat & Mistisisme dalam Islam........................................hlm.86
[11] Abdul Qadir Mahmud, Al-Falsafah al-Sufiyah fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Fikri al-Araby) hlm. 310
[13] Saiyid Athar Abbas Rizvi, A History of Sufisme in India, (New Delhi : Munashiram Manoharlal, , 1978) hlm. 44-45
[15] Muhammad al-Sadiq Arjun, Al-Tasawwuf Fi Al-Islam Manabi’uhu Wa
Atwaruhu, (Cairo: Maktabah al-Kulliyah al-Athariyah, 1967) hlm. 118
Atwaruhu, (Cairo: Maktabah al-Kulliyah al-Athariyah, 1967) hlm. 118
[16] Irfan Abdul Hamid Fattah, Nasy’atu Al-Falsafah Al-Sufiyah Wa Tatawwuruhu, (Bairut, al-Maktab al-Islamy, 1973) hlm. 169
[18] Team Penyusun Naskah, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Medan: Proyek Binperta IAIN Sumatera Utara, 1982) hlm.160
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
kritik dan sarang sangat diharapkan